Jumat, 06 Februari 2009

ROSSA: Diva Indonesia itu Teman Kami

Sumedang, kota kelahiran saya, baru dikenal secara nasional karena tiga hal; (1) Penganan Tahu, (2) Kasus STPDN, dan (3) Sosok seorang Diva Musik Indonesia. Sang Diva yang saya maksud adalah Sri Rossa Roslaina Handayani atau dikenal dengan nama Rossa saja.

Dalam tulisan kali ini, saya ingin bertutur sedikit tentang Rossa. Bukan karena saya wartawan majalah gosip, atau seorang pengamat musik. Saya akan bertutur sebagai seorang teman satu sekolah, sejak duduk di bangku SLTP hingga SLTA. Layaknya sebagai teman satu sekolah, ada hal-hal yang cukup berkesan ketika bergaul dengannya dan juga bersama teman-teman lainnya.

Namun sebelumnya perlu digaris bawahi bahwa apa yang akan saya tuturkan di bawah ini, sama sekali tidak bermaksud untuk membuat gosip, mencari sensasi, atau nebeng popularitas teman saya itu, apalagi membuat kontroversi. Dalam bertutur tentang ini, saya berusaha keras untuk keluar dari sikap menyanjung Ocha secara berlebihan. Toh tidak ada artinya. Pujian atau cacian dari saya akan sama saja artinya, tak kan pernah berpengaruh apa-apa terhadap Ocha. Karena saya bukan Bens Leo, atau petinggi-petinggi Industri Musik Indonesia yang punya otoritas untuk menilai dan mengomentari artis penyanyi Indoneisa. Saya pun bukan Andy F. Noya yang bisa mengungkap fakta dibalik layar via Kick Andy-nya, saya bukan pula si Tukul yang pura-pura “wong deso” untuk menarik simpati dan mengajak ketawa. Saya bukan siapa-siapa dan bukan apa-apa. Saya hanyalah saya, Kurniawan Abdurrahman, temen sekolah sang Diva.


* * *

Saya mengetahui nama Rossa sejak saya duduk di Sekolah Dasar. Meski belum sempat berhadapan muka langsung, saya tahu dia dari majalah anak-anak yang memuat profilnya sebagai artis cilik di kabupaten Sumedang. Saya masih ingat waktu kelas 4 SD, sekitar tahun 1988, ada sebuah acara Panggung Hiburan di Kota Sumedang yang menampilkan artis-artis populer Indonesia saat itu seperti Richie Richardo, Helen Sparingga, Mus Mulyadi, Obbie Messakh, grup lawak d’Bodors (Abah Us Us, Yan Asmi, dan Kusye), dan lain-lain. Masyarakat kota kami yang jarang mendapatkan hiburan, tumplek berdesak-desakan menonton dan terhibur di satu-satunya stadion sepak bola di kota kami. Saya sendiri berada persis di belakang panggung, duduk bersama artis-artis itu karena Om saya (teman bapak saya) dekat dengan panitia penyelenggara.

Menjelang tampilnya Helen Sparingga, pembawa acara mengumumkan tampilnya seorang artis cilik penuh bakat sebagai selingan. Entah di sebelah mana dia duduk sebelumnya, yang jelas kemudian saya mendengar suaranya menyapa penonton tanpa canggung. Lalu dia pun melantunkan dua buah lagu. Saya lupa lagu apa yang dia nyanyikan. Tapi pada saat itulah untuk pertama kalinya saya mendengar dan melihat Rossa unjuk kemampuan.

Saya kemudian baru mengenal Ocha (panggilan akrab beliau), sejak kami sama-sama duduk di bangku kelas 1 SMP Negeri 1 Sumedang pada tahun 1990. Beliau ada di Kelas 1-A dan saya di Kelas 1-B. Dia belum terkenal waktu itu. Tapi sikap riang gembiranya, keluwesan bergaulnya, sopan santun dan gayanya membuat dia mudah dikenal di sekolah. Dia juga termasuk siswi yang cerdas. Prestasi akademiknya cukup baik. Kalau saya tidak salah, sejak Kelas 1 sampai kelas 3, peringkat akademiknya tidak keluar dari Peringkat 1, 2 dan 3 silih berganti dengan anak-anak cerdas lainnya di Kelas 1-A SMPN 1 Sumedang (mungkin hanya ini yang membuat nasib saya sedikit sama dengan Rossa..he he he..narcis dikit).

Menginjak kelas 2 SMP, saya, Ocha, dan beberapa teman lain mulai berkenalan dengan kehidupan berorganisasi di OSIS. Dengan cepat saya, Ocha, dan beberapa teman menjadi Elit-Elit Siswa yang aktif berorganisasi. Tapi Ocha nampak lebih sibuk di bidang seni suara, bersama Pak Agus Dian, Guru Seni Musik kami. Selain itu, layaknya anak-anak yang masuk usia puber, kami mulai senang naksir-naksir lawan jenis. Saya tidak tahu siapa yang dia taksir waktu SMP. Tapi yang saya tahu justru banyak teman-teman cowok yang naksir ke dia, termasuk Sang Ketua Osis angkatan kami. Pak Ketu (demikian kami panggil) yang sehari-hari tampil alim, bersosok ustadz/kyai, yang memperoleh Nilai 10 dalam pelajaran agama, dan juga adik Guru Agama kami di SMP, tiba-tiba menjadi “pemuja rahasia” Rossa. Dia begitu mengagumi Rossa, dan tentu saja bila ada acara-acara rapat OSIS, teman-teman menggoda Pak Ketu habis-habisan. Ocha dengan sedikit “keisengan”-nya malah keliatan asyik mencandainya. Sering kali tawanya yang khas lepas ke udara bila kami membicarakan Pak Ketu. Kami semua berdiri di atas ”penderitaan” Pak Ketu yang mati-matian menahan Ge-eR dan malu nya.

Saya sendiri pernah “dikerjain” Ocha. Waktu SMP saya termasuk anak cowok yang agak sedikit minder dan cepat salah tingkah jika berhadapan dengan anak cewek, terutama yang saya taksir. Suatu hari di ruang OSIS saya sampaikan ke Ocha bahwa saya naksir teman kami, (sebut saja namanya Ina). Tanpa saya ketahui dia sampaikan perasaan saya ke Ina, dan tiba-tiba dia bersama Ina masuk ruang OSIS, lalu dia keluar membiarkan saya dan Ina berdua di ruang OSIS. Tentu saja saya salah tingkah habis-habisan. Ina sendiri terlihat tenang tanpa ekspresi apa-apa. Selang setelah itu, saya ketemu Ocha ketika hendak masuk kelas. Dia ketawa cekikikan melihat kebingungan dan salah tingkah saya. Ah...Ocha..Ocha...!!

Mei tahun 1993, saya lulus dari SMPN 1 Sumedang. Dalam acara perpisahan diumumkan 3 peringkat siswa terbaik yang memperoleh Nilai Evaluasi Belajar Tahap Akhir Nasional (NEM) tertinggi. Ocha ada di peringkat ke dua. Dia bersama Kristian, dan Elga teman saya naik ke panggung untuk memperoleh penghargaan. Saya sendiri tidak naik panggung, karena saya cuma peringkat 4. Dan pada acara hiburan, Ocha, Kristian dan Band kelas 3-A, bernyanyi di panggung membawakan lagu “Everything about You” milik Uggly Kids Joe, Band luar negeri yang lagi ngetop saat itu. Saya tak ketinggalan ikut pula naik panggung menyanyi. Lagu yang saya bawakan saat itu adalah “Salam Terakhir” lagu yang cukup Jadul miliknya Grup Band The Rollies. Pak Agus Dian, guru seni musik kami terperanjat juga mendengar gaya dan kualitas saya menyanyi. Semua teman-teman terheran-heran, tak menyangka saya bisa nyanyi. Baru saat itu, Pak Agus Dian, dan guru-guru saya SMP melihat bakat terpendam saya sebagai penyanyi. Bakat yang kemudian benar-benar terpendam, lalu padam oleh pilihan jalan hidup saya sendiri saat ini.

Dengan NEM yang tinggi, saya dan Ocha kembali memasuki sekolah yang sama. Juni 1993 kami sama-sama duduk di SMA Negeri 1 Sumedang, sekolah paling favorit di kota Sumedang. Dengan passing grade NEM yang tinggi, di SMA Negeri 1 Sumedang banyak ditempa siswa-siswa cerdas, dengan berbagai bakat emas masing-masing. Ocha salah satunya.

Popularitas Ocha di kalangan anak remaja seusia kami saat itu sudah tidak perlu disangsikan lagi. Bolehlah dikatakan, ketika Ocha masuk SMA, hampir tidak ada yang tidak tahu siapa Ocha. Di akhir acara MOS (Masa Orientasi Siswa) yang biasa diselenggarakan untuk “menyambut” anak kelas 1, Ocha tampil menyanyi, diiringi petikan gitar menawan Kang Cecep Ganda Ruhimat, kakak kelas kami. Saya ingat lagu yang dibawakannya adalah “Kaulah Segalanya” lagu yang populer dinyanyikan oleh Ruth Sahanaya. Gaya dan kualitas suaranya dia usahakan seperti Ruth Sahanaya asli-nya. Kelak kemudian hari Ocha mengaku kepada Publik bahwa Ruth Sahanaya menjadi penyanyi Indonesia favoritnya.

Tak heran bila kemudian pada masa-masa di SMA ini, di luar kegiatan belajar di kelas, Ocha lebih beraktifitas di bidang seni suara. Ia menjadi “anak kesayangan” Ibu Tuti Supriati, guru Seni Musik kami. Ocha pun kemudian mengharumkan nama sekolah dengan menyabet gelar Juara Lomba Menyanyi “Bahana Suara Pelajar” se-Jawa Barat. Ocha pun kemudian menjadi ikon dan teladan bidang kesenian di sekolah kami.
Pada masa SMA ini, saya tidaklah begitu bergaul akrab dengan Ocha. Kami tidak pernah satu kelas. Waktu kelas 1, saya duduk di kelas 1-2, Ocha duduk di kelas 1-1. Kemudian ketika naik ke kelas 2, meski sama-sama mengambil jurusan Fisika, Ocha berada di Kelas Fisika Satu dan saya di Kelas Fisika Dua. Bila bertemu pun cuma senyum dan saling sapa seadanya. Meski demikian, dari perilaku Ocha sehari-hari dan pergaulan umum yang saya ketahui, pada waktu SMA Ocha benar-benar termasuk siswi yang memperhatikan kegiatan belajar di kelas. Dia pun termasuk orang yang care terhadap teman-temannya, sekalipun kalau boleh saya bilang, pergaulannya termasuk high-level dibanding saya dan teman-teman pada umumnya. Tepatnya, dia tidak sombong dan pandai menempatkan diri. Untuk kalangan (calon) selebritis seperti Ocha, sikapnya saat itu termasuk kategori rendah hati. Inilah modal sebenarnya sehingga ia cukup disegani dan dikagumi oleh teman-teman.

Meski demikian, Ocha juga manusia biasa. Ada juga sikap dan perilakunya yang memerlukan permakluman. Gaya bicaranya yang ceplas ceplos kadang juga berakibat lain. Dan pernah suatu saat ada peristiwa di mana Ocha pernah marah (mungkin tepatnya kesal) pada Guru Bahasa Indonesia kami. Ocha mengekspresikan kemarahannya dengan cara yang unik dan membuat heran teman-temannya. Bahkan saya dan teman-teman di kelas Fisika 2, “tetangga” kelasnya pun sampai tahu dan terheran-heran. Tapi kemarahan Ocha cuma sesaat. Sebentar saja, waktu itu juga Ocha udah ketawa-ketawa lagi. Dari sini saya berani mengatakan (meski mungkin juga salah) kalau Ocha bukan tipe orang pendendam. Ia mudah memaafkan. (Hai Cha...inget ini nggak? Sory deh....aku bahas ya....!! But You know what happened more than us).

Juni 1996, kami lulus dari SMAN 1 Sumedang. Tepat sehari sebelum acara perpisahan SMA digelar di Gedung KGS Sumedang, Keluarga Besar Ocha menyelenggarakan acara resepsi Syukuran atas diluncurkannya Album Pertama Rossa sebagai Penyanyi Nasional dengan hits-nya “Nada-Nada Cinta”. Ocha terlihat anggun saat itu. Dia didampingi kedua orang tuanya memotong nasi tumpeng dan secara simbolik dibagikan kepada orang-orang terdekatnya, yang menyayanginya dan benar-benar berkontribusi pada awal karirnya. Saya dan beberapa teman SMA nya yang diundang hadir pada acara itu, cukup bangga dan senang menyaksikan kebahagiaan dirinya pada momen bersejarah yang menjadi titik pijak karir bermusiknya.

Esok harinya, di tempat yang sama, diselenggarakanlah acara perpisahan SMA. Saya dan seluruh lulusan tahun 1996 berdandan dan memakai pakaian resmi, semi formal. Saya sendiri ditunjuk sebagai perwakilan siswa yang secara simbolik dan diiringi upacara adat, akan dilepas oleh Kepala Sekolah. Otomatis saya datang dengan memakai seragam SMA. Baru setelah prosesi pelepasan, saya berganti kostum dengan mengenakan Jas pinjaman yang agak kekecilan.

Pada acara perpisahan itu, Ocha pun kembali dipanggil naik panggung sebagai siswa berprestasi. Dia menjadi salah satu dari dua orang siswa yang diterima tanpa testing (tanpa mengikuti UMPTN) di Jurusan Hubungan Internasioanl Universitas Indonesia, perguruan tinggi negeri yang cukup bergengsi dan disegani. Hanya siswa yang memiliki nilai akademik bagus dan stabil selama 3 tahun belajar yang bisa diterima di UI melalui jalur PMDK (penelusuran minat dan kemampuan).

Ocha yang tampil dengan setelan kebaya warna biru dan rambut yang ditata tanpa sanggul, naik ke panggung dengan anggun. Tepuk tangan hadirin mengirinya dan dibalas dengan senyuman manisnya. Ia menerima dengan ramah ucapan selamat dari guru-guru dan teman-teman sekelasnya. Pada hari itu, dia telah menampakkan pesona yang dimilikinya, benar-benar tulus dari kerendahan hatinya, tanpa sedikit pun ekspresi dan tingkah bahwa sehari sebelumnya dia telah me-launching Album yang akan mempopulerkannya secara nasional. Ia melepas atribut keartisannya, dan bersikap wajar, sehingga saya berani untuk menghampirinya menyalaminya, lalu duduk di sampingnya. Kemudian tanpa ragu dan takut merasa tidak selevel, saya memintanya untuk berfoto bareng. Saya berujar padanya, “Cha... foto yuk, nanti mah mungkin kamu akan terkenal, hese (sulit) difoto bareng jeung (dengan) ente (kamu) teh..!!” Ocha tersenyum dan memiringkan badannya ke arahku, lalu Cecep Risnandar temanku (yang kini jadi Wartawan) memfotoku. Sayang sekali, film di kameranya tinggal satu. Dulu belum ada kamera digital yang seenaknya bisa jepret memfoto. Jadi, setelah di cuci di studio, hanya itulah satu-satunya foto saya berdua bareng teman saya yang hari ini telah menjadi Diva Musik Indonesia.

Kerendahhatian Ocha pun saya dengar dan saya sendiri merasakannya. Teman-teman yang pernah berpapasan di mall dengannya bercerita bagaimana Ocha tidak lupa pada teman dan menyapa duluan. Pernah pula suatu saat saya sedang bersepeda sore itu di jalanan kota Sumedang. Tiba-tiba di depan saya, Rossa di dampingi Yoyok “mantan kekasihnya” (karena kini jadi Suaminya) hendak menyebrang jalan. Saya coba pura-pura tidak tahu, tapi ternyata Ocha yang menyapaku duluan.

Ocha pun memilih Sumedang sebagai kota tempat pernikahannya dengan Yoyok. Pesta pernikahannya pada pertengahan bulan April 2004, menjadi pesta pernikahan yang paling meriah yang pernah ada di Sumedang. Masyarakat kota Sumedang berbondong-bondong menyaksikannya di Alun-Alun Kota Sumedang. Ocha dan Yoyok setelah akad nikah di Mesjid Agung Sumedang, kemudian menaiki kereta kuda, layaknya sepasang Putri dan Pangeran Kerajaan Sumedang Larang. Rakyat mengelu-elukannya, dan keluarga Ocha melakukan saweran. Saya dengar sawerannya pun tidak main-main; berupa kupon yang bisa ditukarkan dengan beragam hadiah menarik seperti handphone dan lain-lain.

Saya larut dengan masyarakat yang tengah bergembira mengantar pernikahan Ocha dengan Yoyok. Saya berdiri depan gedung DPRD Sumedang dan diam-diam merasakan kebanggaan yang sama dengan antusiasme masyarakat di belakang kereta kuda yang mengantar Ocha. Saya sendiri secara pribadi tidak termasuk dalam daftar undangan Ocha, baik untuk acara akad nikah itu, maupun dalam acara resepsi pernikahan di salah satu tempat di Kota Bandung. Meski saya telah diminta oleh Pak Yana Ahmad Suryana, pimpinan saya waktu itu, untuk mewakili beliau memenuhi undangan Pak Ukas, ayahanda Ocha, dengan alasan tertentu saya tidak memenuhinya. Namun jauh di sini, saya berdo’a untuk teman saya itu, mudah-mudahan Allah SWT senantiasa menjaga dan merahmatinya sehingga dapat membina Keluarga yang Sakinah, Ma Waddah, wa Rahmah...Amien.

Nah teman-teman...!! Apa yang saya tulis ini mungkin terlalu singkat untuk menggambarkan banyak hal selama 6 tahun bersama Ocha sebagai teman satu sekolah. Banyak yang tidak bisa saya ungkapkan menyangkut privacy Ocha, atau mungkin karena ketidakmampuan saya untuk menuturkan kembali secara tertulis kenangan masa lalu kami yang bagi saya tak mudah dilupakan.

Ada beberapa hal yang yang bisa saya petik dari Ocha adalah, sikap totalitas dan dukungan keluarga yang menjadikan bakat emasnya terolah dengan baik dan mengkilau menghiasai, bukan saja di tingkat lokal, tetapi mungkin jauh melampaui apa yang dibayangkan sebelumnya oleh Ocha di masa SMA. Dia telah menjadi sosok Diva Musik Indonesia yang juga dikenal dibeberapa negara tetangga, yang tanpa malu-malu menyebut Sumedang, kota kecil sebelah timur Kota Bandung, sebagai kota kelahirannya. Ini berbeda dengan anak remaja tanggung saat ini atau beberapa kalangan yang lebih suka disebut berasal dari Bandung daripada menyebut Sumedang, agar lebih bergengsi.

Dalam pandangan saya, Ocha pun termasuk sedikit artis yang cerdas, bersikap, bertutur kata, dan berperilaku relatif santun dan intelek. Kesarjanaannya mengawal dan menjaga dia untuk dapat menjadi panutan yang baik bagi para penggemarnya. Apa yang diperoleh Ocha saat ini pun bukanlah sesuatu yang terjadi secara instan dan mudah. Tapi merupakan hasil dedikasi dan kerja kerasnya menggapai cita-citanya sejak kecil, serta tentu saja dukungan orang tua dan orang-orang terdekat yang menyayanginya. Ia artis yang cukup teguh menjaga integritas dengan prinsip-prinsip yang diyakininya. Simaklah acara-acara gosip di televisi. Hampir tidak ada gosip miring dan kontroversial tentang Ocha. Kalaupun ada, (sory ya cha...!) muncul karena faktor Yoyok sebagai suaminya. Selain itu, saya kira tidak ada.
Kemudian secara obyektif, simaklah pula bagaimana cara dia menghadapi wartawan, dan bagaimana pula dia menjelaskan sesuatu kepada publik. Tutur katanya runut dan logis, sikapnya tenang dan intelek. Saya percaya itu bukan dibuat-buat. Tapi sungguh hadir dari sosok seorang Ocha, karena saya cukup tahu dia mampu untuk itu.

Ketulusannya pun terlihat ketika tanpa publikasi media dan gembar gembor sana sini, Ocha membantu biaya pembangunan fisik ruang kelas di SMAN 1 Sumedang, sekolah kami. Yang saya dengar hampir ratusan juta Ocha keluarkan untuk membantu pembangunan fisik itu. Sehingga sampai kini Ocha menjadi “kesayangan” sekolah kami. Suatu hari di bulan Agustus 2008, saya menghadiri HUT SMANSA Sumedang. Salah satu nama yang kembali disebut memberi kontribusi atas pembangunan fisik sekolah kami adalah Rossa. Dan penghargaan khusus saya rasakan ketika adik-adik kami di SMANSA menggelar Lomba Menyanyikan Lagu Rossa pada acara itu.

Itulah Ocha. Diva Musik Indonesia, yang cerdas dan terlahir untuk menghibur seluruh khalayak musik tanah air. Konser tunggalnya adalah akumulasi kerja keras dan prestasi yang bukan berarti tanpa pengorbanan. Tapi Ocha telah menempuh jalannya dan berkarya terbaik yang ia berikan. Kami, teman-teman yang mungkin agak sedikit terlupakan, juga sebagai yang terlahir dan menjadi bagian dari masyarakat Kabupaten Sumedang, salut dan bangga padamu. ***

6 komentar: